Konferensi Meja Bundar (KMB) (bahasa Belanda: Nederlands-Indonesische rondetafelconferentie) adalah sebuah pertemuan yang dilaksanakan di Den Haag, Belanda, dari 23 Agustus hingga 2 November 1949 antara perwakilan Republik Indonesia, Belanda, dan BFO (Bijeenkomst voor Federaal Overleg), yang mewakili berbagai negara yang diciptakan Belanda di kepulauan Indonesia.

Latar Belakang

Upaya untuk menggagalkan kemerdekaan Indonesia dengan menggunakan kekerasan berakhir dengan kegagalan. Belanda mendapat berbagai kecaman keras dari seluruh dunia. Belanda dan Indonesia kemudian mengadakan beberapa pertemuan untuk menyelesaikan masalah ini melalui cara diplomasi, lewat perundingan Linggarjati serta perjanjian Renville.

Pada tanggal 28 Januari 1949, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan resolusi yang mengecam serangan militer dari pihak Belanda terhadap tentara Republik di Indonesia dan menuntut untuk dipulihkannya kembali pemerintah Republik. Diserukan pula kelanjutan mengenai perundingan untuk menemukan penyelesaian yang damai antara dua belah pihak.

Sebagai lanjutan dari Perjanjian Roem-Royen yang telah dilaksanakan pada tanggal 7 Mei 1949, yang secara efektif ditetapkan oleh resolusi Dewan Keamanan, Mohammad Roem mengatakan bahwa Republik Indonesia, yang pada kala itu para pemimpinnya masih diasingkan di Bangka, bersedia untuk turut serta dalam Konferensi Meja Bundar guna supaya mempercepat tercapainya penyerahan kedaulatan.

Negosiasi

Perundingan menghasilkan sejumlah dokumen, di antaranya Piagam Kedaulatan, Statuta Persatuan, kesepakatan ekonomi serta kesepakatan terkait urusan sosial dan militer. Mereka juga menyepakati penarikan mundur tentara Belanda “dalam waktu sesingkat-singkatnya”, serta Republik Indonesia Serikat memberikan status bangsa paling disukai kepada Belanda.

Selain itu, tidak akan ada diskriminasi terhadap warga negara dan perusahaan Belanda, serta Republik bersedia mengambil alih kesepakatan dagang yang sebelumnya dirundingkan oleh Hindia Belanda. Akan tetapi, ada perdebatan dalam hal utang pemerintah kolonial Belanda dan status Papua Barat.

Dampak

Tanggal 27 Desember 1949, pemerintahan sementara negara dilantik. Soekarno menjadi Presidennya, dengan Hatta sebagai Perdana Menteri, yang membentuk Kabinet Republik Indonesia Serikat. Indonesia Serikat dibentuk seperti republik federasi berdaulat yang terdiri dari 16 negara bagian dan merupakan persekutuan dengan Kerajaan Belanda.

Tanggal penyerahan kedaulatan oleh Belanda ini juga merupakan tanggal yang diakui oleh Belanda sebagai tanggal kemerdekaan Indonesia. Barulah sekitar enam puluh tahun kemudian, tepatnya pada 15 Agustus 2005, pemerintah Belanda secara resmi mengakui bahwa kemerdekaan de facto Indonesia bermula pada 17 Agustus 1945.

Dalam sebuah konferensi di Jakarta, Perdana Menteri Belanda Ben Bot mengungkapkan “penyesalan sedalam-dalamnya atas semua penderitaan” yang dialami rakyat Indonesia selama empat tahun Revolusi Nasional, meski ia tidak secara resmi menyampaikan permohonan maaf.

Reaksi Indonesia kepada posisi Belanda umumnya positif; Menteri Luar Negeri Indonesia Hassan Wirayuda mengatakan bahwa, setelah pengakuan ini, “akan lebih mudah untuk maju dan memperkuat hubungan bilateral antara dua negara”. Terkait utang Hindia Belanda, Indonesia membayar sebanyak kira-kira 4 miliar gulden dalam kurun waktu 1950-1956 namun kemudian memutuskan untuk tidak membayar sisanya.

Hasil

Konferensi secara resmi ditutup di gedung parlemen Belanda pada 2 November 1949. Isi perjanjian konferensi adalah sebagai berikut:

  1.  Keradjaan Nederland menyerahkan kedaulatan atas Indonesia yang sepenuhnya kepada Republik Indonesia Serikat dengan tidak bersyarat lagi dan tidak dapat dicabut dan karena itu mengakui Republik Indonesia Serikat sebagai Negara yang merdeka dan berdaulat.
  2.  Republik Indonesia Serikat menerima kedaulatan itu atas dasar ketentuan-ketentuan pada Konstitusi yang telah dipermaklumkan kepada Kerajaan Nederland.
  3.  Kedaulatan akan diserahkan selambat-lambatnya pada tanggal 30 Desember 1949.